Ada pepatah mengatakan negara yang besar adalah negara yang menghargai jasa para pahlawan-pahlawannya, demikian pula desa yang besar adalah desa yang menghargai para pendahulunya dan berani mengungkapkan jasa yang telah diukir pada masanya. Bung Karno pernah melontarkan kalimat dalam pidatonya yaitu “JAS MERAH” Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah. Meskipun sejarah itu sampai sekarang tidak terkuak secara sempurna dengan factor narasumber yang ada banyak yang sudah wafat, dan yang masih ada banyak yang tidak mengingat. Desa Kalijoyo semula merupakan sekelompok orang yang menghuni disuatu tempat yang dekat dengan telaga kecil dalam bahasa jawa disebut dengan Belik, keadaan airnya selalu penuh meskipun musim kemarau, sehingga dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengalir kesungai yang bernama sungai Pucung dan dipenuhi dengan pohon salam. Dari para penghuni dan tokoh pedukuhan diberi nama Kalisalam. Namun sangat disayangkan tokoh yang memberi nama tersebut sampai sekarang tidak ada yang mengenalnya, karena kejadian tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 1825 M.
Dengan
berkembangnya kehidupan wilayah hunian semakin melebar ke daerah utara namanya Linggojoyo.
Nama linggojoyo berasal dari seorang yang mempunyai kesaktian dengan pegangan
sebuah jimat batu. Konon kabarnya batu tersebut disaat tertentu dapat keluar
sendiri dan tergeletak dihalaman rumah orang atau di jalan. Barang siapa yang
melewati atau melangkahi batu tersebut maka orang tersebut akan mengalami
gangguan jiwa (gila). Dari keajaiban batu tersebut maka dinamakan dukuh
linggojoyo.
Pada waktu
bersamaan penjajahan Belanda, ada seorang pejuang kemerdekaan dari Jawa Timur
melarikan diri ke Pekalongan, kurang lebih tahun 1863 yang bernama Mbah Kema.
Ia bermukim di sebelah selatan dukuh Kalisalam. Dalam mencukupi kebutuhan
sehari-hari dia mencari dan menggali buah-buahan palawija dan menemukan buah
Suwi. Buah suwi memang tumbuh subur dan cukup luas sehingga dipandang cukup
untuk kebutuhan makan. Tetapi sete;ah digali ternyata hampir seluruh buahnya
sudah kadaluarsa atau nggandor ( bahasa jawa sekarang gabar ) karena sudah
terlalu lama tidak dipanen. Dengan temuan buah yang nggandor, maka tempat
tersebut dinamakan Kemandoran, yaitu berasal dari nama mbah Kema dan banyak
buah yang sudah nggandor.
Setelah tiga
daerah dihuni, maka berkembang lagi kea rah timur yang bernama dukuh padurekso.
Adapun nama padurekso bermula dari tokoh yang tinggal memperdebatkan asal-usul
dan kapan tumbuhnya sebuah pohon asam yang tumbuh di tengah-tengah pemukiman,
salah satu tokoh yang masih ingat bernama Wirajaba. Wirajaba merupakan julukan,
bukan nama yang sebenarnya, yang artinya seorang berilmu tinggi. Pohon asam
tersebut sejak menjadi perdebatan besarnya sudah seperti sekarang ini, yang
diameter paling bawah mencapai 4 meter. Karena sering diperdebatkan dan pada
akhirnya tidak ada yang bisa menjawab secara pasti, maka daerah ini dinamakan
dukuh padurekso. Padu artinya debat dan Rekso artinya orang yang memelihara pohon
itu.
Berkembang ke
daerah lain yaitu Karangglagah, yang dari cerita bahwa daerah itu tidak ada
penghuninya, tempat itu hampir seluruhnya dipenuhi tanaman glagah, setelah
dibabat atau tebang akhirnya banyak yang menghuni daerah tersebut. Dinamakan dukuh
karanglagah, artinya dari asal Karang (pekarangan atau kebun) dan Galgah dari
asal pohon atau tanaman glagah.
Yang terakhir
yaitu dukuh Empon-empon, daerah yang terletak agak jauh dari pusat pemerintahan
desa kalijoyo atau lebih tepatnya ada di hutan, daerah ini mula-mula dihuni
sekitar dua anggota keluarga yang salah satunya bernama mbah Supo, karena
keahliannya dalam membuat alat-alat pertanian, dia dijuluki Empu. Dari julukan
Empu sampai sekarang daerah tersebut dinamakan empon-empon.
Singkat cerita
sekitar tahun 1927, ada seorang yang mempunyai pengaruh dan dijadikan kepala
antar pedukuhan yang bernama Senin, berangkat dari sini keenam pedukuhan
dijadikan satu yang bernama Reksajaya. Namun nama Reksajaya tidak begitu lama
dipakai kira-kira sampai Indonesia merdeka.
Setelah
merdeka ada seorang tokoh yang sangat disegani, baik dari colonial belanda
maupun warga setempat yang bernama Subjono, yang pada akhirnya diangkat sebagai
Kepala Desa. Setelah menjabat beberapa bulan nama Reksajaya diubah menjadi
Kalijoyo, kata kalijoyo menurut cerita diambil dari dukuh Kalisalam dan
Linggojoyo, adapun alasannya adalah dukuh Kalisalam adalah cikal bakal dan
pusat pemerintahan yang pertama pada saat itu, sedangkan Joyo diambil dari
pedukuhan Linggojoyo, yaitu wilayah yang kedua, Kata Joyo merupakan suatu
harapan agar ke depan desa tersebut mengalami kejayaan.
Sejarah ini bersumber dari sesepuh desa, yaitu :
Suparno, Wasto dan Mbah Wojo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar